Akhirnya menginjakkan kaki di Pulau Timah. Kapal kami merapat di pelabuhan Pegantung (beda dengan Gantong) pada tengah malam. Kami menurunkan segala barang bawaan dan mengangkutnya ke bis jemputan. Angkut barang selesai, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat melewati bundaran batu satam di tengah kota Tanjung Pandan, kami kegirangan. Bundaran itu begitu indahnya bersinar. Bis kami memutari tempat itu tiga kali. Sayang tak ada satu pun yang mendokumentasi. Di tengah perjalanan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan padang. Gumarang. Saya masih ingat namanya. Lupa bagaimana rasanya. Begitu kami kenyang, bis kembali melaju di jalanan.
Kepala desa Sungai Padang begitu baik pada kami. Beliau menyempatkan menyambut kedatangan kami pada tengah malam itu di pondokan yang ia siapkan. Hari pertama di rumah baru. Terhitung sejak 10 Juli, pukul 03.00 dini hari. Rumah hijau yang kami tempati adalah milik seorang warga, tapi ia tidak tinggal di desa ini lagi. Rumah ini tadinya dibiarkan kosong, hingga kami datang. Inilah basecamp kami.
Unit kami terdiri dari 4 subunit (SU), yaitu SU 1 Tengah, SU 2 Munsang, SU 3 Ujung, dan SU 4 Ilir. Basecamp menjadi rumah bagi SU 1 dan 4. Subunit saya menetap di rumah Pak Saparudin (atau Babe Sap, panggilan sayang dari kami), warga Dusun Munsang. Sedangkan SU 3 ditempatkan di kantor desa.
Hari pertama di Belitong diisi dengan mengumpulkan tenaga. Saat itu hujan turun, meski tak terlalu deras. Di Jogja, kami diperingatkan bahwa cuaca Belitong sangat panas, malah disambut oleh hujan :). Alhamdulillah, kami banyak dibantu warga meskipun baru hari pertama. Beberapa teman ada yang jalan-jalan ke dermaga desa dan berkenalan dengan warga. Mereka sangat ramah pada kami. Tidak disangka, kami malah dipinjami motor dan diberi satu set peralatan masak :'))
Ada satu culture shock yang begitu membekas. Kalau suatu hari kamu berkesempatan main ke desa ini, pasti akan lihat motor-motor yang diparkir di pinggir jalan. Coba amati dengan teliti. Kunci pasti masih tergantung di motor. Tidak peduli itu motor butut atau Vixion sekalipun.
Kami tidak habis pikir. Di Jogja, helm saja ada yang mengincar. Beberapa minggu di Sungai Padang, saya masih belum terbiasa meninggalkan kunci di motor. Sampai suatu hari ada teman yang mengingatkan, "di sini budayanya ya ninggal kunci motor. Ikutin aja. Nanti warga malah tersinggung."
Oh iya, malam pertama di pondokan udah ada insiden bersama pemuda. Beberapa pemuda dari desa sebelah menyantroni pondokan kami. Awalnya cuma ngobrol-ngobrol biasa. Saya sendiri cuma mendengarkan mereka dari dalam. Eh, beberapa saat kemudian Eko menyuruh cewek-cewek untuk masuk ke dalam, pindah ke ruangan bawah tangga. Bingung, tapi nurut. Saat ditanya alasannya, Eko bilang pemuda-pemuda itu ngelem sambil minta dikenalin ke cewek-cewek. Mereka mabuk gara-gara menghirup lem Aibon -_____-
Beberapa cowok menemani para pemuda di luar yang main gitar dan nyanyi ngga karuan. Cewek-cewek di dalam kebingungan harus ngapain. Sambil ngemil martabak ketan yang dibeli Radit. Oke saya agak keluar dari topik, tapi martabaknya enak. Terang bulan seperti di Jogja, tapi diisi ketan hitam campur susu dan parutan kelapa. Sayang di Jogja ngga ada. *laper*
Ternyata, para pemuda tetap nanyain kami (cewek-cewek). Mereka tahu kalau kami belum tidur. Eko pun menyuruh kami pindah ke lantai atas. Kami ogah-ogahan pindah. Di atas gelap dan seram. Tapi ya demi keselamatan bersama, kami pun mengungsi sambil bawa karpet, bantal, dan lampu emergency. Kami malah cerita-cerita, bukannya tidur. Lagi asyik cerita, eh malah mati listrik. Listrik pondokan kami konslet. Takut, kami pun pindah lagi ke bawah. Ada hikmahnya juga konslet listrik, pemuda tadi pulang dari pondokan kami. Ada yang naik motor bonceng tiga. Ada yang meninggalkan motornya di pondokan. Absurd memang.
Oh iya, malam pertama di pondokan udah ada insiden bersama pemuda. Beberapa pemuda dari desa sebelah menyantroni pondokan kami. Awalnya cuma ngobrol-ngobrol biasa. Saya sendiri cuma mendengarkan mereka dari dalam. Eh, beberapa saat kemudian Eko menyuruh cewek-cewek untuk masuk ke dalam, pindah ke ruangan bawah tangga. Bingung, tapi nurut. Saat ditanya alasannya, Eko bilang pemuda-pemuda itu ngelem sambil minta dikenalin ke cewek-cewek. Mereka mabuk gara-gara menghirup lem Aibon -_____-
Beberapa cowok menemani para pemuda di luar yang main gitar dan nyanyi ngga karuan. Cewek-cewek di dalam kebingungan harus ngapain. Sambil ngemil martabak ketan yang dibeli Radit. Oke saya agak keluar dari topik, tapi martabaknya enak. Terang bulan seperti di Jogja, tapi diisi ketan hitam campur susu dan parutan kelapa. Sayang di Jogja ngga ada. *laper*
Ternyata, para pemuda tetap nanyain kami (cewek-cewek). Mereka tahu kalau kami belum tidur. Eko pun menyuruh kami pindah ke lantai atas. Kami ogah-ogahan pindah. Di atas gelap dan seram. Tapi ya demi keselamatan bersama, kami pun mengungsi sambil bawa karpet, bantal, dan lampu emergency. Kami malah cerita-cerita, bukannya tidur. Lagi asyik cerita, eh malah mati listrik. Listrik pondokan kami konslet. Takut, kami pun pindah lagi ke bawah. Ada hikmahnya juga konslet listrik, pemuda tadi pulang dari pondokan kami. Ada yang naik motor bonceng tiga. Ada yang meninggalkan motornya di pondokan. Absurd memang.
Bahkan di hari pertama, saya sudah banyak dikejutkan :)
Love,
No comments:
Post a Comment