Sunday, December 05, 2010

wanita juga punya kuasa. setidaknya atas dirinya.

Saya selalu merasa takjub saat sebuah motion picture benar-benar bisa membuat hati saya tergerak. Saya bukan tipe wanita yang gampang menitikkan air mata. Itulah sebabnya saya sungguh kagum pada kedua film ini karena mampu mengangkat sisi sensitif saya.


 



     Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan House of Sand and Fog di sebuah stasiun TV swasta. Saya jatuh cinta karena film ini berhasil membuat saya menitikkan air mata. Konflik dalam film ini tak semata-mata karena perangai yang antagonis maupun protagonis. Setiap karakter terlihat sangat manusiawi dengan segala konflik kepentingan di antara mereka. Ditambah lagi ending yang menyesakkan hati. Film ini membuat saya cengeng.
    Malam minggu ini sebenarnya saya berkeinginan untuk menyaksikan pertunjukan teater seorang teman. Genre-nya sungguh menggoda: teater improvisasi. Namun apa daya hingga petang saya masih di kampus, berurai air mata. Lagi-lagi karena sebuah sinema. Film Iran berjudul The Stoning of Soraya M. ternyata mampu membuat saya (jauh) lebih histeris dari sebelumnya (dan ternyata aktris Iran, Shohreh Aghdashloo, berakting di kedua film tersebut).
     Film yang kedua ini sungguh menampar. Saya sungguh bersyukur. Betapa beruntungnya saya hidup di masa dan tempat yg tepat. Bebas melakukan hal yang saya suka. Mengutarakan pemikiran. Menjalani hidup sebagai seorang wanita bebas.
      Saya sungguh tidak melihat alasan mengapa di berbagai budaya di dunia hak-hak wanita menjadi anak tiri. Kami bisa melanjutkan garis keturunan. Kami bisa mencari nafkah. Kami bisa memasak hidangan yang menggugah selera. Beberapa dari kami juga kuat luar biasa untuk membangun sebuah rumah. Kami luar biasa.
      Pengebirian hak-hak tersebut awalnya dikarenakan kaum lelaki merasa memiliki kami, yang telah menerima tulang rusuk mereka saat proses penciptaan dan yang tergoda untuk mencicipi buah khuldi. Konon itulah dosa dasar kami.
     Sejak dahulu wanita harus selalu berkorban. Di Cina para gadis memakai sepatu yang sangat menyiksa, hanya karena terdorong oleh doktrin bahwa gadis cantik adalah mereka yang memiliki kaki berukuran mini. Wanita Jawa dilarang bersuara. Wanita di pedalaman afrika dipaksa menindik telinga mereka dengan giwang besar yang menyakitkan.
     Alasannya sederhana, begitulah definisi cantik menurut budaya mereka. Mereka harus memenuhi definisi itu agar dapat menarik perhatian pria. Agar dapat membangun keluarga impian mereka. Ironisnya setelah menikah, impian mereka tidak serta-merta terwujud.
    Melahirkan anak laki-laki menjadi tugas baru mereka. Bahkan hingga tahun 1930 pembunuhan terhadap bayi perempuan yang baru lahir masih dianggap lazim di India. Seorang wanita tidak boleh mencari kebebasan, begitulah yg tertulis di kitab Dharma Sastra. Astaga, seorang istri tak ada bedanya dengan budak! 
     Dalam agama Islam, wanita merupakan pintu surga bagi anak-anaknya. Derajat kami memang sudah ditinggikan, tapi tetap saja kami tidak terhidar dari risiko di-dua-kan, di-tiga-kan, bahkan di-empat-kan. Wanita dan lelaki tetaplah berbeda derajat. Kami harus selalu taat pada imam kami, lelaki kami.
     Keadaan memang menjadi lebih baik. Sebagian besar dari kami diperlakukan lebih terhormat dari sebelumnya. Beberapa dari kami bahkan menjadi imam bagi laki-laki, bahkan bagi sebuah bangsa. Kami pun berani menyulam asa untuk menjadi seorang Cleopatra, RA Kartini, Lady Diana, Jackie O, Angela Merkel, Hillary Clinton, atau Julia Gillard yang selanjutnya. Sedangkan sebagian kecil dari kami masih dianggap layaknya pelacur maupun objek yang menjadi sasaran empuk penganiayaan, pemerkosaan, dan hal biadab lainnya. 
       Hingga saat ini saya sangat menikmati kebebasan saya sebagai seorang wanita. Berusaha membangun sebuah kemandirian dalam kebebasan tersebut. Saya asumsikan teman-teman saya juga berpikiran seperti itu, bahwa derajat pria dan wanita adalah (hampir) setara. Tapi ada saja teman yang merasa risih kalau dibayari teman wanitanya. Hei, kami juga mampu kok buat menanggung ongkos kita main, nonton, atau makan. Saya akui kami mendambakan seorang gentleman, tapi kami juga ingin pria tersebut mengakui kemampuan kami. Contoh lainnya, seringkali teman saya bertanya "kamu kenapa ngga dianter sama cowokmu, na? minta dianter dong." Dengan malas saya menjawab, "emangnya harus ya?" lengkap dengan ekspresi ini --> (-_______-") 
            Saya juga pernah mendapat tanggapan yang terdengar aneh di telinga saya gara-gara saya mengaku habis pergi jalan-jalan ke mall sendirian. "Hah ngapain sendirian ke mall?" Tadinya saya ingin menunjukkan bahwa saya punya kebebasan dan kemandirian dalam melakukan apapun yang saya mau. Tapi saya malah dianggap kurang kerjaan. Sedihnya.
            Sejarah membuktikan bahwa wanita merupakan objek penindasan dalam segala bentuk. Saya hanya berharap kita, para wanita modern, menghargai kebebasan dan hak-hak yang kita miliki saat ini. Hargai diri kita sendiri, jangan justru menjadikan diri kita seseorang yang lemah dan selalu bergantung pada orang lain, membatasi diri kita dengan pendapat orang lain yang mendikte mana yang boleh atau tidak boleh kita lakukan. Kita-lah yang berkuasa, mereka bukan siapa-siapa.

Move as swift as a wind
Stay as silent as forest
Attack as fierce as fire
Undefeatable defense like a mountain.
Fūrinkazan -


Be strong, cause we are strong :)
Love,


1 comment: