Sunday, November 18, 2012

Alkisah di Savanna dan Lautan Baluran (2) (updated)

“Bangun-bangun, ayo liat sunrise.”
Sekitar pukul tiga pagi, Mas Iqbal membangunkan kami. Dengan mata setengah terbuka, saya bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelah menyiapkan perbekalan, kami memulai trekking ke Bama dengan senter di tangan. Kali ini Mas Dodo berbaik hati menemani trio tiga terbelakang, ia pun bersabar mendengarkan percakapan kami yang kadang (maaf, seringnya) tidak penting. Perjalanan ke Bama kali ini tidak seberat perjalanan pertama yang disertai panas matahari. Seusai sholat subuh di mushola Bama, saya bergegas menuju pantai dan duduk anteng. Langit berwarna biru dengan semburat merah yang aduhai terefleksikan dengan cantik di permukaan air laut. Matahari masih belum nampak, tapi saat itu langit sudah cukup terang. Sayangnya momen yang damai ini tidak berlangsung lama. Ada beberapa siswa sekolah menengah yang memutuskan untuk bermain air di pantai yang surut, sehingga refleksi cantik tadi terbuyarkan oleh langkah kaki mereka. Mas Iqbal dan Mba Endah pun frustrasi karena obyek foto mereka terganggu.
Sunrise di Bama | Dermaga Mangrove
Kami duduk di pantai ini cukup lama. Motif utamanya adalah menunggu kafetaria buka. Kami pun berhasil menjadi pembeli pertama di sana. Usai menyalurkan hasrat impulsif kami dalam membeli berbagai minuman kemasan, kami menuju dermaga mangrove yang berada di sebelah selatan Pantai Bama. Tempat ini benar-benar dipenuhi mangrove dengan akar-akarnya yang berukuran besar, namun masih terawat dengan baik. Sekembalinya dari dermaga mangrove, kami menyewa salah satu colt yang ada di Bama untuk mengantar kami kembali ke Bekol. Tidak seperti kemarin, kali ini kami berhasil melihat rusa dan merak jantan! Kami bertemu sekawanan rusa yang sedang merumput. Beruntungnya lagi, kami juga sempat melihat seekor merak jantan dengan ekor panjangnya yang cantik. Sayang, si merak yang pemalu ini tampaknya terganggu dengan teriakan kagum kami, sehingga ia berlari masuk hutan dan terbang! Gila, ternyata merak bisa terbang! Meskipun gagal melihat merak jantan mengembangkan ekornya, tapi kami melihat merak terbang J.
Sunrise di Bama | Rusa di savanna Bekol
kurang lebih beginilah penampakan merak jantan terbang. source
Lautan Berwajah Dua
Logistik bahan makanan yang sudah berkurang cukup meringankan carrier (pinjaman) saya. Ya, kami mengemasi carrier masing-masing karena akan menuju desa nelayan Pandean untuk menyewa kapal ke Pantai Bilik Sijile. Setelah beberapa saat menunggu, mobil patroli datang menjemput kami. Berhubung Mas Dani dan Mba Endah ingin snorkeling, mobil patroli pun berbelok ke Bama untuk menyewa peralatan snorkeling, kemudian mengantar kami ke Pandean. Dari desa ini, kami menyewa kapal nelayan yang sudah berumur 12 tahun. Perjalanan panjang selama hampir 3 jam ke Bilik Sijile sama sekali tidak membuat saya bosan. Betapa tidak, pemandangan yang disuguhkan adalah laut biru dan Gunung Baluran, serta pepohonan khas Baluran. Dari lautan, Gunung Baluran menampakkan sisi lainnya. Kami tidak hanya melihat pepohonan seperti di Bekol, tapi juga melihat evergreen, hamparan pasir putih, bahkan tebing tinggi yang menyerupai benteng. Saya semakin kagum karena Baluran sungguh kaya dan gagah.
berbagai wajah Gunung Baluran
Izinkan saya curhat sedikit ya. Sepulang dari Belitung 3 bulan yang lalu, bisa dibilang saya kena sindrom beachsick dan seasick (bukan dalam artian mabuk laut, tapi sejenis homesick). Saya susah move on dari kenyataan bahwa saya sudah tidak bisa menikmati pantai pasir putih lembut yang dikombinasi dengan laut yang beraneka warna, dari hijau toska sampai biru muda. Di Jogja, saya tidak bisa menikmati dua elemen itu lagi, meskipun sudah menyusuri pesisir Gunung Kidul yang terkenal indah sekalipun. Mau tidak mau, saya pun membandingkan pantai di Belitung dan Jogja. Ya, saya sadar bahwa setiap pantai memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga tidak adil untuk diperbandingkan. Mungkin sebaris lirik lagu Katy Perry ini cukup bisa menggambarkan perasaan saya, “Comparisons are easily done once you’ve had a taste of perfection.”
Dan kamu tau, saya menemukan kembali laut yang saya rindukan di Baluran J.
Saya melihat warna-warna itu lagi setelah tiga bulan lamanya. Dalam skala yang lebih luas, di lautan lepas (lebih tepatnya di perairan Selat Bali). Lebih sempurnanya lagi, kini saya melihatnya dengan komposisi yang lebih komplit. Laut hijau toska-biru muda, pasir putih, dan Gunung Baluran yang menguning. Sungguh, lautan Baluran lebih memesona daripada savannanya. Well, ini hanya pendapat pribadi saya. Tapi, saya juga masih ingin melihat savanna Baluran saat menghijau.
Kami akhirnya tiba di spot snorkeling. Mas Dani dan Mba Endah asyik menyapa ikan-ikan, sedangkan saya memandangi lanskap gunung dan lautan di hadapan saya dengan terpesona. Meskipun berada di atas kapal, air laut yang jernih membuat kami bisa melihat bintang laut biru yang ada di karang. Sayangnya saya tidak bisa bercerita banyak tentang biota laut Baluran karena keterbatasan budget, tapi saya berencana untuk mencoba snorkeling saat saya kembali ke sini. Oh iya, akibat ada salah paham dengan nelayan, kami tidak merapat ke Bilik Sijile. Padahal katanya pantai ini masih perawan dan berpasir putih. Meski kecewa, kami pun berbalik dan berlayar pulang.
Di perjalanan kembali ke daratan, saya menyempatkan untuk tidur. Sayangnya, tidak berapa lama saya dibangunkan oleh Mas Dani. Rupanya, ombak semakin besar. Bahkan, seorang nelayan sampai menguras lambung kapal kami. Diba malah duduk di haluan sambil berteriak karena terciprat ombak. Kapal tua kami terombang-ambing di tengah laut, sementara daratan Pandean masih beberapa jam perjalanan. Saya sebenarnya mulai risau dan takut. Saya tidak bisa berenang dan hanya ada dua life jacket untuk 13 orang di kapal kayu ini. Di tengah ketakutan ini, saya menangkap pendar cahaya di sebalah kanan saya. Saya melihat pelangi! Sekedar memastikan bahwa saya tidak berhalusinasi, saya berkata pada Mas Dani, "Mas, ada pelangi!" Awalnya ia berkata, "Mana? Mana?" Saya pun menunjuk ke arah kanan saya, "Itu di sana!" Mas Dani mencermati deburan ombak yang saya tunjuk, "Oh iya! Ada pelangi!" Mas Dodo dan Diba pun ikut memandangi pelangi. Lautan Baluran benar-benar ajaib.
Keterpukauan kami akan adanya pelangi tak berlangsung lama. Langit mulai gerimis. Padahal kami masih jauh dari tujuan pulang. Ombak pun masih ganas menerjang. Saya pun mencoba untuk menyingkirkan pikiran buruk itu dengan berdiri berpegangan ke tiang kapal bersama Mas Dani dan Diba. Rasanya bagaimana? Seperti naik kora-kora dengan skala wahana yang lebih kecil dengan ombak yang meraung-raung, tapi berdiri dan tanpa pengaman. Kalau kepleset, bisa wassalam. Lagi-lagi Baluran menampakkan wajah lainnya. 
Kami pun memutuskan merapat di Bama, bukan di Pandean. Seusai sholat ashar, kami menghadapi masalah baru. Supir mobil patroli tidak bisa dihubungi, artinya kami harus berjalan lagi ke Bekol. Saya sejujurnya sudah lelah mental dan fisik setelah main kora-kora di kapal tadi, tapi ya mau bagaimana lagi. Mba Maria dan Mas Iqbal berhasil membujuk seorang pengunjung agar mereka bisa menumpang ke Bekol. Dari sana, mereka bisa meminta jemputan dari Batangan (pintu masuk Baluran) untuk mengantarkan kami mengambil barang-barang di Pandean. Entah kenapa, saya dan Diba malah cerewet sekali saat trekking ketiga kalinya ini. Kami ngoceh dari soal Sigur Ros, Coldplay, Chris Martin, Gwyneth Paltrow, gosip artis, film, dan hal ngga penting yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Mas Dani dan Mba Endah juga ikut nimbrung dan membahas horror Suzanna. Kami pun membayangkan kalau tetiba ada tukang sate yang lewat atau ada gerobak es krim yang nangkring di atas pohon. Obrolan random yang kami lakukan untuk menutupi rasa lelah ini tertunda saat mobil patroli datang dan mengangkut kami.
Di perjalanan menuju Batangan, kami melanjutkan obrolan random dan stargazing. Langit saat itu cerah. Bintang-bintang terlihat jelas dan banyak sekali. Bulan yang sudah melewati masa purnama pun nampak bersinar. Di bawah langit romantis ini, kami malah duduk berhimpitan di mobil patroli sambil membicarakan sinetron lawas macam Noktah Merah Perkawinan.
Begitu tiba di Pandean, kami mengambil carrier kami yang dititipkan di rumah nelayan yang tadi mengantar kami melaut. Usai mengucapkan terima kasih, kami menuju rumah Pak Tri untuk berpamitan. Supir mobil patroli berbaik hati mengantar kami mencari makan di kota. Padahal baru semalam di Baluran, kami lagaknya orang desa yang tidak pernah ke kota. Heboh sendiri melihat minimarket, pasar, dan warung yang menjajakan beragama makanan dan minuman. Kami pun mengisi perut dengan sepiring nasi goreng dan segelas es campur, kemudian kembali ke Batangan untuk sholat isya.
Di gerbang TN Baluran, kelompok kami berpisah. Empat orang menaiki bis menuju Surabaya, sedangkan sisanya (termasuk saya) menaiki bis menuju Ketapang. Kemarin saya sampai di Baluran bersama tiga orang teman, kini saya meninggalkan Baluran bersama sembilan orang teman, enam di antaranya adalah teman baru J
Full team di Savanna Bekol dan dermaga mangrove. edit: Ana
Kakak-Kakak Penjaga
Di bis, saya tertidur sampai kami tiba di terminal Banyuwangi, kemudian kami naik angkot menuju stasiun Banyuwangi Baru. Sebenarnya hanya saya dan Diba yang berurusan dengan stasiun Banyuwangi Baru, karena kami akan pulang besok pagi jam enam dengan KA Sri Tanjung. Sedangkan Mas Iqbal, Mas Dodo, Mba Mega dan Mba Maria akan melanjutkan perjalanan dengan bis untuk mendaki Kawah Ijen. Tapi, Diba mendengar ada salah satu dari mereka yang mengatakan “Kowe ora mesakke po ndelok bocah-bocah iki?” Artinya adalah “Kamu ngga kasihan lihat mereka?” Maksudnya adalah saya dan Diba yang akan berduaan menghabiskan malam dan menunggu pagi di stasiun. Tak berapa lama, mereka berempat menyusuk kami naik ke angkot yang mengantarkan kami ke stasiun. Setibanya di stasiun, kami mencari tempat untuk membuka lapak istirahat. Saya langsung berbaring di dekat kursi, tapi kemudian Mas Iqbal menyuruh saya pindah ke belakang konter pulsa yang lebih tertutup. Saat di Jogja saya baru tau kalau sempat ada banci yang melintas ke arah rombongan kami dan memandangi kami dari jauh. Saya sih ngga lihat karena udah teler begitu sampai stasiun.
Paginya, kami sholat subuh dan membersihkan badan di masjid terdekat. Setelah sempat mengisi baterai ponsel, kami berjalan kembali ke stasiun. Saatnya mengambil jalan masing-masing, baik jalan pulang maupun melanjutkan perjalanan.

Stasiun Banyuwangi Baru. edit: Ana
Diba dan saya adalah yang termuda di rombongan ini. Kami beruntung punya kakak-kakak yang peduli dan benar-benar menjaga kami. Terima kasih sudah menemani kami berdua, maaf kalau yang bisa kami lakukan hanyalah ngoceh tidak jelas dan menularkan virus alay pada kakak-kakak sekalian. Semoga kalian tetap berkenan kalau kami ikut lagi di perjalanan selanjutnya. Sampai jumpa lagi, bray! J

P.S. Baca juga catatan perjalanan Mas Iqbal, Mba Endah, dan Diba. Itinerary dan budget lengkap bisa dilihat di catatan Mas Dodo.

Love,



No comments:

Post a Comment