“Bangun-bangun, ayo liat sunrise.”
Sekitar pukul tiga pagi,
Mas Iqbal membangunkan kami. Dengan mata setengah terbuka, saya bangun dan
berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelah menyiapkan
perbekalan, kami memulai trekking ke Bama dengan senter di tangan. Kali ini Mas
Dodo berbaik hati menemani trio tiga terbelakang, ia pun bersabar mendengarkan
percakapan kami yang kadang (maaf, seringnya) tidak penting. Perjalanan ke Bama
kali ini tidak seberat perjalanan pertama yang disertai panas matahari. Seusai sholat
subuh di mushola Bama, saya bergegas menuju pantai dan duduk anteng. Langit berwarna
biru dengan semburat merah yang aduhai terefleksikan dengan cantik di permukaan
air laut. Matahari masih belum nampak, tapi saat itu langit sudah cukup terang.
Sayangnya momen yang damai ini tidak berlangsung lama. Ada beberapa siswa
sekolah menengah yang memutuskan untuk bermain air di pantai yang surut,
sehingga refleksi cantik tadi terbuyarkan oleh langkah kaki mereka. Mas Iqbal
dan Mba Endah pun frustrasi karena obyek foto mereka terganggu.
Kami duduk di pantai ini
cukup lama. Motif utamanya adalah menunggu kafetaria buka. Kami pun berhasil
menjadi pembeli pertama di sana. Usai menyalurkan hasrat impulsif kami dalam membeli
berbagai minuman kemasan, kami menuju dermaga mangrove yang berada di sebelah selatan
Pantai Bama. Tempat ini benar-benar dipenuhi mangrove dengan akar-akarnya yang
berukuran besar, namun masih terawat dengan baik. Sekembalinya dari dermaga
mangrove, kami menyewa salah satu colt yang ada di Bama untuk mengantar
kami kembali ke Bekol. Tidak seperti kemarin, kali ini kami berhasil melihat
rusa dan merak jantan! Kami bertemu sekawanan rusa yang sedang merumput. Beruntungnya
lagi, kami juga sempat melihat seekor merak jantan dengan ekor panjangnya yang
cantik. Sayang, si merak yang pemalu ini tampaknya terganggu dengan teriakan
kagum kami, sehingga ia berlari masuk hutan dan terbang! Gila, ternyata
merak bisa terbang! Meskipun gagal melihat merak jantan mengembangkan ekornya,
tapi kami melihat merak terbang J.
Sunrise di Bama | Rusa di savanna Bekol |
kurang lebih beginilah penampakan merak jantan terbang. source |
Logistik bahan makanan yang
sudah berkurang cukup meringankan carrier (pinjaman) saya. Ya, kami mengemasi
carrier masing-masing karena akan menuju desa nelayan Pandean untuk menyewa
kapal ke Pantai Bilik Sijile. Setelah beberapa saat menunggu, mobil patroli
datang menjemput kami. Berhubung Mas Dani dan Mba Endah ingin snorkeling, mobil
patroli pun berbelok ke Bama untuk menyewa peralatan snorkeling, kemudian
mengantar kami ke Pandean. Dari desa ini, kami menyewa kapal nelayan yang sudah
berumur 12 tahun. Perjalanan panjang selama hampir 3 jam ke Bilik Sijile sama
sekali tidak membuat saya bosan. Betapa tidak, pemandangan yang disuguhkan
adalah laut biru dan Gunung Baluran, serta pepohonan khas Baluran. Dari lautan,
Gunung Baluran menampakkan sisi lainnya. Kami tidak hanya melihat pepohonan
seperti di Bekol, tapi juga melihat evergreen, hamparan pasir putih,
bahkan tebing tinggi yang menyerupai benteng. Saya semakin kagum karena Baluran
sungguh kaya dan gagah.
Izinkan saya curhat sedikit
ya. Sepulang dari Belitung 3 bulan yang lalu, bisa dibilang saya kena sindrom beachsick
dan seasick (bukan dalam artian mabuk laut, tapi sejenis homesick).
Saya susah move on dari kenyataan bahwa saya sudah tidak bisa menikmati
pantai pasir putih lembut yang dikombinasi dengan laut yang beraneka warna,
dari hijau toska sampai biru muda. Di Jogja, saya tidak bisa menikmati dua
elemen itu lagi, meskipun sudah menyusuri pesisir Gunung Kidul yang terkenal
indah sekalipun. Mau tidak mau, saya pun membandingkan pantai di Belitung dan
Jogja. Ya, saya sadar bahwa setiap pantai memiliki kelebihannya masing-masing, sehingga
tidak adil untuk diperbandingkan. Mungkin sebaris lirik lagu Katy Perry ini cukup
bisa menggambarkan perasaan saya, “Comparisons are easily done once you’ve
had a taste of perfection.”
Dan kamu tau, saya
menemukan kembali laut yang saya rindukan di Baluran J.
Saya melihat warna-warna
itu lagi setelah tiga bulan lamanya. Dalam skala yang lebih luas, di lautan
lepas (lebih tepatnya di perairan Selat Bali). Lebih sempurnanya lagi, kini
saya melihatnya dengan komposisi yang lebih komplit. Laut hijau toska-biru
muda, pasir putih, dan Gunung Baluran yang menguning. Sungguh, lautan Baluran lebih memesona
daripada savannanya. Well, ini hanya pendapat pribadi saya. Tapi, saya juga
masih ingin melihat savanna Baluran saat menghijau.
Kami akhirnya tiba di spot snorkeling. Mas
Dani dan Mba Endah asyik menyapa ikan-ikan, sedangkan saya memandangi lanskap gunung
dan lautan di hadapan saya dengan terpesona. Meskipun berada di atas kapal, air
laut yang jernih membuat kami bisa melihat bintang laut biru yang ada di
karang. Sayangnya saya tidak bisa bercerita banyak tentang biota laut Baluran
karena keterbatasan budget, tapi saya berencana untuk mencoba snorkeling
saat saya kembali ke sini. Oh iya, akibat ada salah paham dengan nelayan, kami
tidak merapat ke Bilik Sijile. Padahal katanya pantai ini masih perawan dan
berpasir putih. Meski kecewa, kami pun berbalik dan berlayar pulang.
Di perjalanan kembali ke daratan, saya
menyempatkan untuk tidur. Sayangnya, tidak berapa lama saya dibangunkan oleh
Mas Dani. Rupanya, ombak semakin besar. Bahkan, seorang nelayan sampai menguras
lambung kapal kami. Diba malah duduk di haluan sambil berteriak karena terciprat
ombak. Kapal tua kami terombang-ambing di tengah laut, sementara daratan
Pandean masih beberapa jam perjalanan. Saya sebenarnya mulai risau dan takut. Saya
tidak bisa berenang dan hanya ada dua life jacket untuk 13 orang di
kapal kayu ini. Di tengah ketakutan ini, saya menangkap pendar cahaya di sebalah kanan saya. Saya melihat pelangi! Sekedar memastikan bahwa saya tidak berhalusinasi, saya berkata pada Mas Dani, "Mas, ada pelangi!" Awalnya ia berkata, "Mana? Mana?" Saya pun menunjuk ke arah kanan saya, "Itu di sana!" Mas Dani mencermati deburan ombak yang saya tunjuk, "Oh iya! Ada pelangi!" Mas Dodo dan Diba pun ikut memandangi pelangi. Lautan Baluran benar-benar ajaib.
Keterpukauan kami akan adanya pelangi tak berlangsung lama. Langit mulai gerimis. Padahal kami masih jauh dari tujuan pulang. Ombak pun masih ganas menerjang. Saya pun mencoba untuk menyingkirkan pikiran buruk itu dengan berdiri berpegangan ke tiang kapal bersama Mas Dani dan Diba. Rasanya bagaimana? Seperti naik kora-kora dengan skala wahana yang lebih kecil dengan ombak yang meraung-raung, tapi berdiri dan tanpa pengaman. Kalau kepleset, bisa wassalam. Lagi-lagi Baluran menampakkan wajah lainnya.
Keterpukauan kami akan adanya pelangi tak berlangsung lama. Langit mulai gerimis. Padahal kami masih jauh dari tujuan pulang. Ombak pun masih ganas menerjang. Saya pun mencoba untuk menyingkirkan pikiran buruk itu dengan berdiri berpegangan ke tiang kapal bersama Mas Dani dan Diba. Rasanya bagaimana? Seperti naik kora-kora dengan skala wahana yang lebih kecil dengan ombak yang meraung-raung, tapi berdiri dan tanpa pengaman. Kalau kepleset, bisa wassalam. Lagi-lagi Baluran menampakkan wajah lainnya.
Kami pun memutuskan merapat di Bama,
bukan di Pandean. Seusai sholat ashar, kami menghadapi masalah baru. Supir
mobil patroli tidak bisa dihubungi, artinya kami harus berjalan lagi ke Bekol. Saya
sejujurnya sudah lelah mental dan fisik setelah main kora-kora di kapal tadi, tapi
ya mau bagaimana lagi. Mba Maria dan Mas Iqbal berhasil membujuk seorang
pengunjung agar mereka bisa menumpang ke Bekol. Dari sana, mereka bisa meminta
jemputan dari Batangan (pintu masuk Baluran) untuk mengantarkan kami mengambil
barang-barang di Pandean. Entah kenapa, saya dan Diba malah cerewet sekali saat
trekking ketiga kalinya ini. Kami ngoceh dari soal Sigur Ros, Coldplay, Chris
Martin, Gwyneth Paltrow, gosip artis, film, dan hal ngga penting yang tidak
bisa disebutkan satu per satu. Mas Dani dan Mba Endah juga ikut nimbrung dan
membahas horror Suzanna. Kami pun membayangkan kalau tetiba ada tukang sate
yang lewat atau ada gerobak es krim yang nangkring di atas pohon. Obrolan
random yang kami lakukan untuk menutupi rasa lelah ini tertunda saat mobil patroli
datang dan mengangkut kami.
Di perjalanan menuju Batangan, kami
melanjutkan obrolan random dan stargazing. Langit saat itu cerah. Bintang-bintang
terlihat jelas dan banyak sekali. Bulan yang sudah melewati masa purnama pun
nampak bersinar. Di bawah langit romantis ini, kami malah duduk berhimpitan di
mobil patroli sambil membicarakan sinetron lawas macam Noktah Merah Perkawinan.
Begitu tiba di Pandean, kami mengambil carrier
kami yang dititipkan di rumah nelayan yang tadi mengantar kami melaut. Usai mengucapkan
terima kasih, kami menuju rumah Pak Tri untuk berpamitan. Supir mobil patroli
berbaik hati mengantar kami mencari makan di kota. Padahal baru semalam di
Baluran, kami lagaknya orang desa yang tidak pernah ke kota. Heboh sendiri
melihat minimarket, pasar, dan warung yang menjajakan beragama makanan dan
minuman. Kami pun mengisi perut dengan sepiring nasi goreng dan segelas es
campur, kemudian kembali ke Batangan untuk sholat isya.
Di gerbang TN Baluran, kelompok kami
berpisah. Empat orang menaiki bis menuju Surabaya, sedangkan sisanya (termasuk
saya) menaiki bis menuju Ketapang. Kemarin saya sampai di Baluran bersama tiga
orang teman, kini saya meninggalkan Baluran bersama sembilan orang teman, enam
di antaranya adalah teman baru J.
Di bis, saya tertidur sampai kami tiba
di terminal Banyuwangi, kemudian kami naik angkot menuju stasiun Banyuwangi
Baru. Sebenarnya hanya saya dan Diba yang berurusan dengan stasiun Banyuwangi
Baru, karena kami akan pulang besok pagi jam enam dengan KA Sri Tanjung. Sedangkan
Mas Iqbal, Mas Dodo, Mba Mega dan Mba Maria akan melanjutkan perjalanan dengan
bis untuk mendaki Kawah Ijen. Tapi, Diba mendengar ada salah satu dari mereka
yang mengatakan “Kowe ora mesakke po ndelok bocah-bocah iki?” Artinya
adalah “Kamu ngga kasihan lihat mereka?” Maksudnya adalah saya dan Diba yang
akan berduaan menghabiskan malam dan menunggu pagi di stasiun. Tak berapa lama,
mereka berempat menyusuk kami naik ke angkot yang mengantarkan kami ke stasiun.
Setibanya di stasiun, kami mencari tempat untuk membuka lapak istirahat. Saya langsung
berbaring di dekat kursi, tapi kemudian Mas Iqbal menyuruh saya pindah ke
belakang konter pulsa yang lebih tertutup. Saat di Jogja saya baru tau kalau sempat
ada banci yang melintas ke arah rombongan kami dan memandangi kami dari jauh. Saya
sih ngga lihat karena udah teler begitu sampai stasiun.
Paginya, kami sholat subuh dan
membersihkan badan di masjid terdekat. Setelah sempat mengisi baterai ponsel,
kami berjalan kembali ke stasiun. Saatnya mengambil jalan masing-masing, baik
jalan pulang maupun melanjutkan perjalanan.
Diba dan saya adalah yang termuda di
rombongan ini. Kami beruntung punya kakak-kakak yang peduli dan benar-benar menjaga
kami. Terima kasih sudah menemani kami berdua, maaf kalau yang bisa kami
lakukan hanyalah ngoceh tidak jelas dan menularkan virus alay pada kakak-kakak
sekalian. Semoga kalian tetap berkenan kalau kami ikut lagi di perjalanan
selanjutnya. Sampai jumpa lagi, bray! J
P.S. Baca juga catatan perjalanan Mas Iqbal, Mba Endah, dan Diba. Itinerary dan budget lengkap bisa dilihat di catatan Mas Dodo.
Love,
No comments:
Post a Comment