Dua butir antimo telah
habis saya telan selama perjalanan Jogja-Surabaya. Mas Iqbal yang duduk di
kursi sebelah bertanya pada Diba, “Ana mau tidur terus?” Setengah sadar, saya
menjawab, “Aku mual, mas. Mending tidur.” Usai membalas beberapa pesan singkat
yang masuk, saya melanjutkan tidur, berusaha mengabaikan goncangan bis ekonomi yang
kami tumpangi.
Menjelang tengah malam,
akhirnya kami sampai di terminal Surabaya. Kami sholat, mengisi perut, dan
bertemu dengan tiga rekan seperjalanan ke Taman Nasional Baluran. Mereka adalah
Mas Dani, Mba Endah, dan Mba Maria. Dua nama terakhir baru saya kenal di
terminal ini. Mba Endah ternyata masih tetangga dengan keluarga Diba di
Surabaya. Mba Maria menurut saya adalah wanita super berperawakan kecil tapi bersepatu
trekking keren, tidak lupa dengan kacamata hitamnya. Setelah beristirahat
sejenak, kami mencari bis untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Saya
kembali melanjutkan tidur.
Batangan, gerbang TN Baluran | Pose keren dulu di mobil patroli |
Rerumputan Kuning dan Pasir Putih
Rencana kami untuk memulai
Sabtu pagi dengan melihat matahari terbit di Pantai Bama rupanya harus ditunda.
Kami baru sampai di gerbang Taman Nasional Baluran pukul 08.30. Dengan noraknya
kami langsung berfoto di depan gerbang. Setelah menemui Pak Tri (petugas di
TN), kami pun diangkut ke mobil patroli yang akan mengantarkan kami ke
penginapan di Bekol yang berjarak 13 km dari gerbang.
Sepanjang perjalanan,
kami disuguhi pemandangan pepohonan yang meranggas. Gunung Baluran pun
menampakkan dirinya dari balik pepohonan. Begitu memasuki kawasan evergreen,
warna kuning pepohonan yang sedari tadi kami lihat berganti menjadi hijau
segar. Sayang, kami tidak menemui satu hewan pun selama perjalanan. Sekitar
setengah jam kemudian, savanna Bekol mulai terlihat, begitu juga dengan
penginapan kami.
Wisma Banteng yang kami
tempati menyuguhkan pemandangan savanna Bekol. Saat itu savanna terlihat
menghitam, sengaja dibakar agar benih-benih baru bisa tumbuh saat musim
penghujan datang. Di kompleks penginapan rupanya terdapat banyak hewan, seperti
monyet dan merak betina.
Wisma Banteng | Savanna Bekol |
merak berina. edit: Ana |
Mba Maria - Diba - Mba Diana - Mas Dodo - Mba Mega - Mas Dani - Mas Iqbal - Mba DA - Ana |
Menjelang siang, Mba DA yang turut mengajak Mba Diana dan Mba Mega sudah datang. Lagi-lagi, dua nama terakhir merupakan teman baru bagi saya. Kelompok kami lengkap sudah bersepuluh dan bersiap trekking menuju Pantai Bama yang berjarak 3 km setelah melawan godaan untuk tidur di kasur empuk. Jalur menuju Bama mudah diikuti, namun berbatu kerikil. Sol sepatu sneakers saya sampai tergerogoti. Setelah berjalan selama 45 menit, plang Pantai Bama akhirnya terlihat. Tapi, kami terdistraksi plang kayu jalur bird watching. Kami pun berbelok ke jalur ini. Sayangnya kami tidak ada yang membawa binokular, jadi tidak berhasil melihat spesies burung yang ada di taman nasional ini. Meskipun begitu, kami malah mencapai pantai tak bernama yang ada di dekat Telaga Manting. Pantai berpasir putih ini menawarkan pemandangan mangrove di kejauhan yang nampak menyerupai pulau. Laut biru terlihat di kejauhan, sayangnya dedaunan kering di tepi pantai membuat saya enggan untuk berbasah-basah di sini.
Kecewa karena gagal
melihat burung, kami kembali ke Pantai Bama. Di pantai ini, kami menemukan
surga yang bernama kulkas. Kafetaria Bama tidak menyediakan es batu, tapi
minuman dingin yang mereka jual cukup membuat kami kalap. Saat kami berkunjung
kemari, rupanya sedang ada acara kemah suatu SMP. Gagal menjadikan Bama sebagai
pantai pribadi, kami pun bergegas melakukan susur pantai. Tak berapa lama berjalan,
kami tiba di Pantai Kalitopo. Bagi saya, pantai ini lebih istimewa dari Bama. Batu
karang hitam di sepanjang pantai serta pepohonan rimbun menjadi daya tarik
tersendiri. Air di pantai ini juga sangat jernih, sampai-sampai kita bisa
melihat ikan-ikan kecil yang berenang di sekitar karang. Kami melanjutkan
perjalanan ke pantai berikutnya, sampai akhirnya kami tiba di Pantai Teluk Kajang.
Daya tarik pantai ini adalah pohon mangrove yang tumbuh menjorok ke laut. Di
pinggir pantai juga ada banyak kerang yang beraneka warna, ragam, dan bentuk. Sayang,
di pantai ini tidak ada lumba-lumbanya (ini adalah inside jokes kami
untuk Mba DA yang percaya begitu saja saat kami cekoki informasi palsu bahwa
terdengar suara lumba-lumba dari pantai ini).
Menyeret Langkah Pulang
Perjalanan pulang rupanya
tidak semudah saat berangkat. Kami menyusuri jalan setapak hutan menuju Bekol,
jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Sampai jumpa lagi, pantai. Di kanan-kiri
kami hanya ada pepohonan yang meranggas. Terkadang ada pula “ranjau darat”
hewan di jalan setapak yang kami lalui, tapi tidak sampai bertemu seekor hewan pun.
Saya yang sejak awal
berangkat bergabung menjadi trio terbelakang bersama Diba dan Mba DA, lagi-lagi
menempati spot yang sama. Saya berusaha menyeret kedua kaki untuk tidak
tertinggal lebih jauh. Air minum juga semakin menipis, padahal masih belum tau
kapan akan sampai di pondokan. Kelompok kami terbagi menjadi dua kloter; kloter
depan mencari jalan, sedangkan kloter belakang berusaha menyamakan langkah dan mengejar
ketertinggalan. Saya sendiri sempat panik karena tidak ada satu pun dari kami
yang mengenal jalur ini. Sinyal pun tidak masuk ke ponsel kami, padahal
matahari mulai tenggelam di kaki Gunung Baluran. Berbekal peta informasi dari
Visitor Center, kami menebak-nebak jalur pulang. Sambil menahan perut yang kelaparan
karena belum makan siang, saya berjalan terhuyung-huyung. Dari kejauhan,
terdengar teriakan dari kloter depan. Jalanan sudah terlihat! “Cepat-cepat,
kita naik truk sampai ke pondokan!” Saya yang sudah muak dengan jalan kaki,
langsung berlari mendekati jalan (entah dari mana ada tenaga untuk lari). Benar
saja, ada serombongan truk yang akan menuju Bekol! Allahu akbar! Saya naik truk
bersama Mba Maria dan Mba Mega. Supir truk kami sangat ramah dan seorang penggemar
India (dia hafal lagu India yang saat itu diputar di radio). Pak supir
bercerita, biasanya banteng keluar di malam hari. Mereka juga biasa mandi di
kubangan air yang berjarak beberapa ratus meter dengan pondokan kami. Ia juga
memberi kami sebuah mangga yang kami makan sebagai dessert di pondokan. Diiringi
matahari terbenam di kaki Gunung Baluran, kami berhasil pulang sebelum gelap.
Masak mi instan dan air menjadi kegiatan utama kami malam itu. Tidak lupa acara ngobrol ngalor-ngidul yang diselingi acara melihat rusa dan mengejar kerbau hutan - yang tadinya dikira banteng - di savanna Bekol. Kami tidur cepat karena esok harus mengejar matahari terbit di Bama.
Love,
Wish could go to Baluran soon! Kyyaaa xD
ReplyDelete