Sunday, November 18, 2012

Alkisah di Savanna dan Lautan Baluran (1)

Dua butir antimo telah habis saya telan selama perjalanan Jogja-Surabaya. Mas Iqbal yang duduk di kursi sebelah bertanya pada Diba, “Ana mau tidur terus?” Setengah sadar, saya menjawab, “Aku mual, mas. Mending tidur.” Usai membalas beberapa pesan singkat yang masuk, saya melanjutkan tidur, berusaha mengabaikan goncangan bis ekonomi yang kami tumpangi.
Menjelang tengah malam, akhirnya kami sampai di terminal Surabaya. Kami sholat, mengisi perut, dan bertemu dengan tiga rekan seperjalanan ke Taman Nasional Baluran. Mereka adalah Mas Dani, Mba Endah, dan Mba Maria. Dua nama terakhir baru saya kenal di terminal ini. Mba Endah ternyata masih tetangga dengan keluarga Diba di Surabaya. Mba Maria menurut saya adalah wanita super berperawakan kecil tapi bersepatu trekking keren, tidak lupa dengan kacamata hitamnya. Setelah beristirahat sejenak, kami mencari bis untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Saya kembali melanjutkan tidur.

Batangan, gerbang TN Baluran | Pose keren dulu di mobil patroli

Rerumputan Kuning dan Pasir Putih
Rencana kami untuk memulai Sabtu pagi dengan melihat matahari terbit di Pantai Bama rupanya harus ditunda. Kami baru sampai di gerbang Taman Nasional Baluran pukul 08.30. Dengan noraknya kami langsung berfoto di depan gerbang. Setelah menemui Pak Tri (petugas di TN), kami pun diangkut ke mobil patroli yang akan mengantarkan kami ke penginapan di Bekol yang berjarak 13 km dari gerbang.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan pepohonan yang meranggas. Gunung Baluran pun menampakkan dirinya dari balik pepohonan. Begitu memasuki kawasan evergreen, warna kuning pepohonan yang sedari tadi kami lihat berganti menjadi hijau segar. Sayang, kami tidak menemui satu hewan pun selama perjalanan. Sekitar setengah jam kemudian, savanna Bekol mulai terlihat, begitu juga dengan penginapan kami.
Wisma Banteng yang kami tempati menyuguhkan pemandangan savanna Bekol. Saat itu savanna terlihat menghitam, sengaja dibakar agar benih-benih baru bisa tumbuh saat musim penghujan datang. Di kompleks penginapan rupanya terdapat banyak hewan, seperti monyet dan merak betina.

Wisma Banteng | Savanna Bekol
merak berina. edit: Ana
Mba Maria - Diba - Mba Diana - Mas Dodo - Mba Mega - Mas Dani - Mas Iqbal - Mba DA - Ana

Menjelang siang, Mba DA yang turut mengajak Mba Diana dan Mba Mega sudah datang. Lagi-lagi, dua nama terakhir merupakan teman baru bagi saya. Kelompok kami lengkap sudah bersepuluh dan bersiap trekking menuju Pantai Bama yang berjarak 3 km setelah melawan godaan untuk tidur di kasur empuk. Jalur menuju Bama mudah diikuti, namun berbatu kerikil. Sol sepatu sneakers saya sampai tergerogoti. Setelah berjalan selama 45 menit, plang Pantai Bama akhirnya terlihat. Tapi, kami terdistraksi plang kayu jalur bird watching. Kami pun berbelok ke jalur ini. Sayangnya kami tidak ada yang membawa binokular, jadi tidak berhasil melihat spesies burung yang ada di taman nasional ini. Meskipun begitu, kami malah mencapai pantai tak bernama yang ada di dekat Telaga Manting. Pantai berpasir putih ini menawarkan pemandangan mangrove di kejauhan yang nampak menyerupai pulau. Laut biru terlihat di kejauhan, sayangnya dedaunan kering di tepi pantai membuat saya enggan untuk berbasah-basah di sini.

Pantai di Telaga Manting | Sisi lain Pantai Bama

Kecewa karena gagal melihat burung, kami kembali ke Pantai Bama. Di pantai ini, kami menemukan surga yang bernama kulkas. Kafetaria Bama tidak menyediakan es batu, tapi minuman dingin yang mereka jual cukup membuat kami kalap. Saat kami berkunjung kemari, rupanya sedang ada acara kemah suatu SMP. Gagal menjadikan Bama sebagai pantai pribadi, kami pun bergegas melakukan susur pantai. Tak berapa lama berjalan, kami tiba di Pantai Kalitopo. Bagi saya, pantai ini lebih istimewa dari Bama. Batu karang hitam di sepanjang pantai serta pepohonan rimbun menjadi daya tarik tersendiri. Air di pantai ini juga sangat jernih, sampai-sampai kita bisa melihat ikan-ikan kecil yang berenang di sekitar karang. Kami melanjutkan perjalanan ke pantai berikutnya, sampai akhirnya kami tiba di Pantai Teluk Kajang. Daya tarik pantai ini adalah pohon mangrove yang tumbuh menjorok ke laut. Di pinggir pantai juga ada banyak kerang yang beraneka warna, ragam, dan bentuk. Sayang, di pantai ini tidak ada lumba-lumbanya (ini adalah inside jokes kami untuk Mba DA yang percaya begitu saja saat kami cekoki informasi palsu bahwa terdengar suara lumba-lumba dari pantai ini).


Pantai Kalitopo | Pantai menuju Teluk Kajang (maaf fotonya patah)

Menyeret Langkah Pulang
Perjalanan pulang rupanya tidak semudah saat berangkat. Kami menyusuri jalan setapak hutan menuju Bekol, jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Sampai jumpa lagi, pantai. Di kanan-kiri kami hanya ada pepohonan yang meranggas. Terkadang ada pula “ranjau darat” hewan di jalan setapak yang kami lalui, tapi tidak sampai bertemu seekor hewan pun.
Saya yang sejak awal berangkat bergabung menjadi trio terbelakang bersama Diba dan Mba DA, lagi-lagi menempati spot yang sama. Saya berusaha menyeret kedua kaki untuk tidak tertinggal lebih jauh. Air minum juga semakin menipis, padahal masih belum tau kapan akan sampai di pondokan. Kelompok kami terbagi menjadi dua kloter; kloter depan mencari jalan, sedangkan kloter belakang berusaha menyamakan langkah dan mengejar ketertinggalan. Saya sendiri sempat panik karena tidak ada satu pun dari kami yang mengenal jalur ini. Sinyal pun tidak masuk ke ponsel kami, padahal matahari mulai tenggelam di kaki Gunung Baluran. Berbekal peta informasi dari Visitor Center, kami menebak-nebak jalur pulang. Sambil menahan perut yang kelaparan karena belum makan siang, saya berjalan terhuyung-huyung. Dari kejauhan, terdengar teriakan dari kloter depan. Jalanan sudah terlihat! “Cepat-cepat, kita naik truk sampai ke pondokan!” Saya yang sudah muak dengan jalan kaki, langsung berlari mendekati jalan (entah dari mana ada tenaga untuk lari). Benar saja, ada serombongan truk yang akan menuju Bekol! Allahu akbar! Saya naik truk bersama Mba Maria dan Mba Mega. Supir truk kami sangat ramah dan seorang penggemar India (dia hafal lagu India yang saat itu diputar di radio). Pak supir bercerita, biasanya banteng keluar di malam hari. Mereka juga biasa mandi di kubangan air yang berjarak beberapa ratus meter dengan pondokan kami. Ia juga memberi kami sebuah mangga yang kami makan sebagai dessert di pondokan. Diiringi matahari terbenam di kaki Gunung Baluran, kami berhasil pulang sebelum gelap.

somewhere in the jungle. edit : Ana

Masak mi instan dan air menjadi kegiatan utama kami malam itu. Tidak lupa acara ngobrol ngalor-ngidul yang diselingi acara melihat rusa dan mengejar kerbau hutan - yang tadinya dikira banteng - di savanna Bekol. Kami tidur cepat karena esok harus mengejar matahari terbit di Bama.


Love,



1 comment: