Namanya Regina Saptiarini Safri.
Sejak tahun 2011 ia menguras segala materi, tenaga, dan pikiran yang dimiliki
untuk menempuh perjalanan Jawa – Kalimantan. Mendokumentasikan kegiatan yang ia
lakukan bersama Yayasan Konservasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF)
di Samboja, Kalimantan Timur dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Perjalanan
panjangnya mencakup membelah jalanan berdebu di perkebunan sawit dan mengarungi
sungai di belantara Borneo. Tak jarang ia menjadi satu-satunya wanita di
rombongan. Kepeduliannya terhadap orangutan ia tunjukkan tak hanya menjadi
relawan, namun juga dengan memamerkan 42 karya jepretan lensanya yang mendokumentasikan
kehidupan orangutan dalam pameran fotografi jurnalistik yang bertajuk “Orangutan : Rhyme & Blues”. Dalam pameran yang digelar di
Bentara Budaya Yogyakarta pada 27 Januari hingga 4 Februari ini Regina berusaha
menyampaikan pesan bahwa orangutan berperan penting dalam menjaga ekosistem
hutan. Ia memberi contoh bahwa kotoran orangutan dapat tumbuh dan hidup menjadi
tanaman karena 80 persennya merupakan biji-bijian. Regina percaya apabila orangutan
dibiarkan hidup, maka dengan sendirinya hutan akan terjaga. Ia menambahkan bahwa
proses pelepasliaran orangutan kembali ke hutan oleh yayasan membutuhkan biaya
yang besar dan pemerintah kurang memberikan dukungan. Yayasan harus membayar
Rp13 miliar kepada pemerintah untuk izin melepas orangutan di hutan ex-HPH
dengan masa pemakaian 60 tahun. Padahal orangutan bukanlah satwa milik yayasan
maupun LSM, tetapi satwa yang seharusnya dilindungi oleh negara. Artikel lengkap
tentang pamerannya ini bisa dibaca di sini.
P.S. Menurut sahabat saya, Dito, yang
notabene mahasiswa kehutanan, hutan ex-HPH adalah bekas hutan yang memiliki Hak
Penguasaan Hutan. Sepenangkapan saya, hutan ini dulunya bisa dimanfaatkan
secara komersil, seperti dimanfaatkan kayunya, kemudian dialihfungsikan menjadi
hutan untuk konservasi orangutan. CMIIW.
Sebagai Warga Negara Indonesia, tidak
mungkin saya tidak mengenal binatang ini. Tanah air saya, tepatnya Pulau
Kalimantan dan Sumatra, menjadi satu-satunya habitat bagi kera besar ini. Sedangkan
spesies kera besar lainnya seperti gorilla dan simpanse berhabitat di Afrika. Melihat
foto bayi orangutan yang lucu-lucu seperti di atas membuat saya semakin miris
saat membaca bahwa populasi orangutan Sumatra tinggal 7.500 ekor, sedangkan
orangutan Kalimantan tersisa 57.000 ekor saja. Menurut WWF, penyebab berkurangnya populasi orangutan diantaranya adalah
praktik perburuan dan pembalakan liar, alihnya fungsi hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit, perubahan iklim, serta kebakaran hutan. Saya juga membaca
artikel BBC bahwa penyebab lain dari berkurangnya populasi kera besar ini
adalah karena dibunuh oleh warga di sekitar habitat mereka. Survey yang dilakukan
oleh The Nature Conservacy mencatatkan angka
750 ekor orangutan dibunuh oleh warga dalam setahun. Lebih menyedihkannya lagi,
mereka dibunuh karena dianggap merusak tanaman warga dan untuk dikonsumsi
dagingnya. Silakan klik di sini untuk membaca artikel lengkapnya.
Ada dua novel
yang menuntun saya untuk lebih memahami spesies ini. Meskipun keduanya novel
fiksi, namun keduanya terasa sangat nyata bagi saya. Life Of Pi dan Supernova: Partikel.
Keduanya menampilkan orangutan sebagai salah satu tokoh yang sangat penting
bagi si lakon utama. Sama seperti pentingnya orangutan bagi hutan itu sendiri. Berikut
saya sertakan kutipan kisah orangutan bernama Orange Juice dan Sarah dari kedua
novel tersebut.
Orangutan. “Tenaganya sekuat tenaga sepuluh manusia. Mereka bisa mematahkan tulang kalian semudah mematahkan ranting. Memang, dulu kalian pernah memelihara beberapa dari mereka dan mengajak bermain-main sewaktu mereka masih kecil. Tapi sekarang mereka sudah dewasa, liar, dan tidak bisa ditebak perilakunya.” Life Of Pi, halaman 66.
"Sudahkah kuceritakan bahwa dulu Orange Juice adalah orangutan peliharaan yang kemudian dibuang begitu saja oleh para pemiliknya di Indonesia? Kisah hidupnya sama seperti kisah hidup binatang-binatang peliharaan lain yang ditelantarkan. Kira-kira seperti ini: si binatang peliharaan dibeli ketika dia masih kecil dan lucu. Para pemiliknya senang melihatnya. Lalu dia semakin besar, nafsu makannya juga ikut bertambah. Dan ternyata dia tak bisa dijinakkan. Suatu hari gadis pembantu di rumah hendak mengambil kain di sarang binatang itu, untuk dicuci, atau barangkali anak lelaki si pemilik rumah dengan bercanda hendak mengambil makanan dari tangan binatang itu¾tahu-tahu si binatang peliharaan marah dan memamerkan gigi-giginya, dan keluarga itu ketakutan. Keesokan harinya binatang peliharaan ini dibawa naik Jeep oleh manusia-manusia yang selama ini dia anggap saudara-saudarinya. Mereka masuk hutan. Semua penumpang Jeep mendapati hutan itu tempat yang asing dan menakutkan. Mereka tiba di tempat terbuka. Mereka turun untuk melihat-lihat tempat itu sejenak. Sekonyong-konyong Jeep itu menderum, roda-rodanya berputar cepat, dan si binatang peliharaan melihat orang-orang yang selama ini dikenal dan disayanginya meninggalkannya, melaju pergi dalam Jeep itu. Dia ditinggalkan sendirian. Si binatang peliharaan tidak mengerti. Dia tidak tahu cara bertahan hidup di rimba ini, sama seperti manusia-manusia saudaranya itu. Dia menunggu-nunggu mereka kembali, mencoba meredam kepanikan yang dirasakannya. Tapi mereka tidak juga kembali. Matahari terbenam. Dengan segera si binatang peliharaan merasa tertekan dan kehilangan gairah hidup. Akhirnya dia mati kelaparan, kepanasan, dan kedinginan dalam beberapa hari. atau mati diserang anjing-anjing.
Orange Juice hampir saja mengalami nasib menyedihkan seperti itu. Tapi untunglah dia akhirnya tinggal di Kebun Binatang Pondicherry. Dia tetap ramah dan tidak agresif sepanjang hidupnya. Aku ingat waktu aku masih kecil, dia suka memelukku dengan lengan-lengannya yang panjang, jemarinya¾masing-masing sepanjang tanganku yang utuh¾suka menarik-narik rambutku. Waktu itu dia masih seekor orangutan betina muda yang hendak melatih naluri keibuannya. Ketika dia sudah tumbuh menjadi orangutan dewasa dan liar, aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Kupikir aku sudah mengenalnya dengan baik dan mampu memperkirakan setiap tindakannya. Kupikir aku bukan hanya mengenal kebiasaan- kebiasaannya, tapi juga keterbatasan- keterbatasannya. Tapi saat melihat kegarangannya, keberanian liar yang ditunjukkannya, kusadari bahwa aku salah. Selama ini rupanya hanya sedikit sekali yang kupahami dari dirinya." Life of Pi, halaman 190-191.
Selucu apapun orangutan saat
mereka bayi, ketika dewasa, mereka tetaplah binatang liar. Mereka memiliki
insting dan akan mempertahankan diri apabila teritori mereka dilanggar oleh
makhluk lain. Saya percaya bahwa orangutan betina memiliki naluri keibuan yang
sangat besar, sampai-sampai hewan ini dijadikan metafora sebagai ibu Pi.
Supernova: Partikel menyorot
tentang bayi orangutan bernama Sarah. Ia dikisahkan selamat dari bidikan
senapan pemburu, namun harus menyaksikan induknya mati di depan matanya. Nasibnya
masih cukup beruntung karena tidak berakhir di kebun binatang, namun di
penangkaran orangutan dan akan dilepaskan ke habitatnya saat menginjak dewasa. Sarah
kecil sangatlah manja pada Zarah, tokoh sentral Partikel yang menjadi ibu
asuhnya. Ia pun menjalin ikatan yang sangat erat dan tak bersyarat dengan
Zarah. Namun ia tetaplah binatang liar. Ikatan itu akan tetap ada, namun Sarah akan
menempuh jalannya kembali ke hutan tanpa menengok ke belakang. Perpisahan sekaligus
pendewasaan yang anggun.
“Manusia perlu konfirmasi berulang dalam hubungan antar sesama, entah itu pasangan, sahabat, atau keluarga. Kita gemar menguji cinta. Orangutan tidak. Ikatan orangutan terjadi sekali dan bertahan selamanya.” Supernova: Partikel.
“Kita berbagi 97% gen yang sama dengan orangutan. Namun, sisa 3% itu telah menjadikan manusia pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor satu di planet ini karena segelintir saja gen berbeda.” Supernova: Partikel.
Itulah beberapa hal yang saya
pelajari tentang orangutan. WWF sendiri memiliki program khusus untuk melindungi
satwa langka ini, selengkapnya bisa diakses di sini.
Love,
aku pernah tanya nih sama orang dari (kalau ga salah) yayasan yang sama. mereka emang make hutan ini untuk konservasi, tapi ijinnya untuk pengolahan bukan buat konservasi gitu. mana bayarnya mahal banget pula ini.. padahal menurut undang-undang mereka dilindungi.. ga paham aku sama pemerintah
ReplyDelete