Friday, March 29, 2013

Teruntuk Abah


“Mimi nangis terus ya, Ma.” | “Iya, katanya kasian, soalnya Bapak kehujanan.”
Saya beruntung pernah menjadi cucu tunggal selama lebih dari sepuluh tahun, meskipun saya sama sekali tidak ingat memori saat saya menghabiskan beberapa tahun masa balita saya di Cirebon. Menurut cerita, saya dititipkan di Kota Udang karena ibu saya sibuk menyelesaikan kuliahnya di Jogja. Saya hanya bisa membayangkan saat itu saya adalah cucu dan keponakan pertama yang dilimpahi banyak kasih sayang dari kakek, nenek, empat orang tante, dan seorang oom. Setiap sore, saya akan dibawa ke alun-alun depan rumah untuk menyaksikan oom saya dan teman-temannya bermain bola. Jika sedang ada pasar malam, saya digendong oleh Abah (kakek) dan dibelikan mainan. Atau di pagi hari saya akan diajak oleh Mimi (nenek) menemaninya berdagang di pasar, lalu diantar pulang oleh salah satu tante saya ketika saya sudah menangis karena mengantuk. Entahlah, saya hanya bisa membayangkan. Salahkan memori manusia yang tidak bisa mengingat tahun-tahun fase awal hidupnya.
Ada satu ingatan yang samar di kepala saya. Saat itu saya duduk di kelas tiga atau empat sekolah dasar. Abah tetiba berkunjung ke Jogja untuk menengok kami. Seorang diri. Tapi kunjungan beliau tidak lama, setelah menghabiskan satu hari di rumah kami, ia pulang dengan kereta. Meskipun singkat, saya kembali merasa menjadi cucu tunggal yang tersayang. Saya menantikan kunjungan Abah yang seperti itu lagi, namun rupanya diabetes menggerogoti tubuh Abah. Saya hanya bisa melihat tubuhnya semakin kurus dari tahun ke tahun setiap kunjungan hari raya. Selain perubahan fisik Abah, saya juga memperhatikan bahwa Abah punya hobi baru. Mengumpulkan foto cucunya dan memajangnya di ruang tamu. Foto saya saat SD turut terpampang di sana. Bahkan beliau kerap menagih salah satu tante saya yang masih belum memberikan foto anaknya untuk Abah pajang di wall of grandchildren miliknya.

Sepupu saya yang terkecil, Adinda (1 tahun), senasib dengan saya. Sehari-hari ia habiskan bertiga bersama Abah dan Mimi. Setiap pagi ia menyaksikan Abah membuka pintu depan untuk mengambil koran. Kadang ia melihat Abah mengangkat tabung gas tiga kilogram ke dapur. Sesekali ia menemani Abah memandikan dan membersihkan kandang burung di halaman. Yang paling sering, seusai Dinda bosan dengan mainan-mainannya, Abah akan memasukkan mainannya ke keranjang.
Tahun pertama Adinda rupanya menjadi tahun terakhir Abah. Abah menghembuskan nafas terakhirnya dua hari sebelum hari jadi Dinda yang pertama. Adinda tak akan ingat bahwa ia memiliki kakek yang sangat menyayanginya.
Tapi saya ingat.
Saya ingat bahwa kakek saya begitu mengasihi cucunya.
Nasib saya lebih baik daripada Adinda.
Saya beruntung pernah menjadi satu-satunya cucu Abah.

P.S. Abah, makasih untuk semuanya. Semoga Abah tenang di sana. Saya sayang sama Abah.


Love,


No comments:

Post a Comment