“Mimi nangis terus ya, Ma.” | “Iya, katanya kasian, soalnya Bapak kehujanan.”
Saya beruntung pernah
menjadi cucu tunggal selama lebih dari sepuluh tahun, meskipun saya sama sekali
tidak ingat memori saat saya menghabiskan beberapa tahun masa balita saya di
Cirebon. Menurut cerita, saya dititipkan di Kota Udang karena ibu saya sibuk
menyelesaikan kuliahnya di Jogja. Saya hanya bisa membayangkan saat itu saya
adalah cucu dan keponakan pertama yang dilimpahi banyak kasih sayang dari
kakek, nenek, empat orang tante, dan seorang oom. Setiap sore, saya akan dibawa
ke alun-alun depan rumah untuk menyaksikan oom saya dan teman-temannya bermain
bola. Jika sedang ada pasar malam, saya digendong oleh Abah (kakek) dan
dibelikan mainan. Atau di pagi hari saya akan diajak oleh Mimi (nenek)
menemaninya berdagang di pasar, lalu diantar pulang oleh salah satu tante saya ketika
saya sudah menangis karena mengantuk. Entahlah, saya hanya bisa membayangkan.
Salahkan memori manusia yang tidak bisa mengingat tahun-tahun fase awal
hidupnya.
Ada satu ingatan yang
samar di kepala saya. Saat itu saya duduk di kelas tiga atau empat sekolah
dasar. Abah tetiba berkunjung ke Jogja untuk menengok kami. Seorang diri. Tapi
kunjungan beliau tidak lama, setelah menghabiskan satu hari di rumah kami, ia
pulang dengan kereta. Meskipun singkat, saya kembali merasa menjadi cucu
tunggal yang tersayang. Saya menantikan kunjungan Abah yang seperti itu lagi,
namun rupanya diabetes menggerogoti tubuh Abah. Saya hanya bisa melihat
tubuhnya semakin kurus dari tahun ke tahun setiap kunjungan hari raya. Selain
perubahan fisik Abah, saya juga memperhatikan bahwa Abah punya hobi baru. Mengumpulkan
foto cucunya dan memajangnya di ruang tamu. Foto saya saat SD turut terpampang
di sana. Bahkan beliau kerap menagih salah satu tante saya yang masih belum
memberikan foto anaknya untuk Abah pajang di wall of grandchildren miliknya.
Sepupu saya yang
terkecil, Adinda (1 tahun), senasib dengan saya. Sehari-hari ia habiskan
bertiga bersama Abah dan Mimi. Setiap pagi ia menyaksikan Abah membuka pintu
depan untuk mengambil koran. Kadang ia melihat Abah mengangkat tabung gas tiga
kilogram ke dapur. Sesekali ia menemani Abah memandikan dan membersihkan
kandang burung di halaman. Yang paling sering, seusai Dinda bosan dengan
mainan-mainannya, Abah akan memasukkan mainannya ke keranjang.
Tahun pertama Adinda
rupanya menjadi tahun terakhir Abah. Abah menghembuskan nafas terakhirnya dua
hari sebelum hari jadi Dinda yang pertama. Adinda tak akan ingat bahwa ia
memiliki kakek yang sangat menyayanginya.
Tapi saya ingat.
Saya ingat bahwa kakek
saya begitu mengasihi cucunya.
Nasib saya lebih baik
daripada Adinda.
Saya beruntung pernah
menjadi satu-satunya cucu Abah.
P.S. Abah, makasih untuk semuanya. Semoga Abah
tenang di sana. Saya sayang sama Abah.
Love,
No comments:
Post a Comment