Kalau melihat posting
saya sebelum ini, seharusnya saya menuliskan tentang kakek saya dari pihak ayah yang
berasal dari Banten. 10 Mei kemarin ayah saya menjadi yatim. Kami terakhir
bertemu Ama (panggilan kami untuk beliau) saat Idul Fitri dua tahun lalu.
Frankly, saya tidak bisa menulis banyak karena saya
sendiri tidak begitu mengenal Ama. How sad. Mungkin hal ini akan berbeda
jika saya tinggal di dekat Banten dan fasih berbahasa Sunda. Mungkin hubungan saya
dengan Ama akan lebih dekat jika beliau punya telepon untuk mengontak saya.
Mungkin saya akan punya kenangan bersama Ama bila beliau pernah berkereta ke
kota saya seperti yang pernah Abah lakukan. Oh well, saya senang
mendengar cerita tentang hal-hal positif yang Ama lakukan untuk warga desanya,
tapi saya lebih ingin menceritakan sesuatu yang berdasarkan pengalaman saya
bersama beliau. But I don’t have any.
Secara genetis, keluarga
adalah orang yang punya persamaan paling banyak dengan diri kita. Tapi anehnya,
kadang saya merasa asing saat berada di antara mereka. Isn’t it ironic when
family feels like stranger, and stranger feels like family? I took a
note to myself that just because it’s my family, doesn’t mean I don’t have to
work on it. It takes a lot of time and effort to make my family work. And I
realized this too late.
May you rest in peace, Ama.
P.S. Mungkin alasan terbesar saya menulis ini
adalah agar bisa membuat posting selanjutnya tanpa (banyak) rasa bersalah.
No comments:
Post a Comment