Monday, September 10, 2012

Kolase #13 : 20 Juli 2012. Rumput Laut di Tengah Laut.

   Semenjak mendengar kabar datangnya bibit rumput laut, kami penasaran ingin tahu lebih lanjut. Maka hari ini kami kembali lagi ke pelabuhan Munsang dan mencari nelayan yang mau membawa kami ke tempat penanaman rumput laut. Oh iya Bagus dan Muchtar absen, jadi yang berangkat adalah saya, Kiki, Zidan, dan Akbar. Sesampainya di pelabuhan, hanya ada satu-dua nelayan yang sedang merapat. Kami pun mendekati salah satunya dan mengutarakan niat kami. Nelayan dari Sijuk itu bersedia mengantar kami dengan tarif 150.000 rupiah, termasuk ke Pulau Limaujering. Kalau kita meminta pada nelayan Munsang yang sudah kita kenal, tarifnya hanya sepertiganya. Yah berhubung kami tidak melihat satupun nelayan yang kami kenal, maka kami (terpaksa) setuju. 
    Tujuan pertama kami adalah tempat penanaman rumput laut yang berjarak 2 kilometer dari pelabuhan. Penanaman dilakukan di laut lepas, namun kedalamannya kurang dari 2 meter. Di area seluas hampir satu hektar itu sudah berdiri banyak tiang setinggi 5 meter dari batang pohon. Cara menanamnya cukup sederhana. Rumput laut dipotong menjadi sepanjang 20 cm kemudian diikat ke tali tambang. Jarak antar bibit rumput laut ini kira-kira 30 cm. Tali tambang inilah yang nantinya diikat ke tiang yang sudah dipasang. Perawatannya hanya dengan menjaga agar rumput laut tetap bersih. Dibutuhkan waktu 25-30 hari sampai rumput laut siap dipanen. Rumput laut ini nantinya dijual ke pabrik untuk diolah menjadi kosmetik. Bibit ini memang bukan yang bertujuan konsumsi, tapi industri.


   Setelah melihat proses penanaman rumput laut, kapal kami menuju Pulau Limaujering (baca: Limauseri). Dari kejauhan saja sudah terlihat pasir putihnya yang begitu menggoda. Sayangnya saat itu air laut sedang surut, jadi kami tidak bisa merapat karena pulau ini dikelilingi karang tajam. Udah sewa kapal 150.000 perak tapi ngga bisa merapat di pulau -_____-
   Anyway, kami pun kembali ke pelabuhan. Oh iya kami lihat ubur-ubur di tepi pantai saat hendak merapat. Kenyal-kenyal licin hahaha. Ubur-ubur yang kami lihat berwarna transparan, bukan merah muda seperti di Finding Nemo. 
   Sebelum pulang ke pondokan, kami mampir dulu ke suatu tempat yang menjadi ciri khas Belitong. Tambang timah. Bekas tambang timah tepatnya. Dua gambar di atas bukanlah danau. Itu tambang. Cantik ya? Tapi miris melihat bumi "dibolongi", diambil isinya, lalu ditinggalkan begitu saja. Warga Sungai Padang masih cukup banyak yang ngulong, bahasa lokal yang artinya menambang. Area tambang yang kami datangi ini cukup luas. Kalo difoto pakai mode panorama bisa lah pokoknya. Lokasi tambang yang kami sambangi ini ada di tengah hutan. Hutan ini juga hampir habis karena dibakar, untuk membuka lahan kelapa sawit. Baru ketika di Jogja saya sadar, kenapa harus dibakar? Kenapa ngga ditebangin aja pohonnya, lalu kayunya dijual? Alasan efisiensi kah? Saya tidak tahu. 

Love,




3 comments:

  1. anaaa fotonya digedein dong, kurang puas liatnya euyy :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. tadinya gede yah, tapi njuk lemot pas diupload, jadinya aku resize :(

      Delete