Tuesday, August 17, 2010

Surat untuk Indonesia 65

Sejujurnya, saya bukan seorang warga negara yang sempurna. Bisa dibilang saya bukan warga negara yang buruk, tapi bila dibilang baik pun terlalu berlebihan. SIM yang ada di dompet saya adalah hasil menyuap aparat. Begitu pula dengan KTP saya. Tapi alhamdulillah belum sampai masuk penjara.
Sampai saat ini, saya belum menjadi WNI yang membanggakan. Berprestasi di internasional, belum. Menghasilkan devisa untuk negara, belum juga. Punya NPWP saja belum *menghela nafas*. Parahnya, saya tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam keseharian saya. Lebih sering bahasa Jawa. Menulis blog pun lebih sering dalam bahasa Inggris.

Yak. Saya egois terhadap negeri ini.
Tapi sisi gelap saya lalu menanggapi dengan sinis, negara ini juga kok!

Di mata saya tanah air saya ini penuh dengan cacat. Saya keluar rumah barang sejengkal saja sudah mengeluhkan panasnya cuaca kota saya. Global warming! Pohon ditebangin terus! Lama-lama ini dunia berubah jadi neraka!, begitu umpat saya.
Makian saya semakin menjadi di perjalanan. Kendaraan butut begini masih dipakai! Supirnya ugal-ugalan lagi!, saya mengutuk asap hitam dari si raja jalanan yang menerpa wajah saya.
Jika saya sudah lelah tapi harus terus mengendarai motor saya, gerutuan saya semakin menjadi. Gaya banget bikin bandara internasional, rute bis ke rumah aja ga ada! Jarak rumah saya dengan pusat kota berkisar 30 menit, tapi tidak ada jalur bis kota yang dapat menghubungkan keduanya.

Satu-satunya hal yang membuat saya masih menyebut saya seorang Indonesia adalah keindahan alamnya. Bukan hutan di sini tentu saja. Saya tidak bisa berenang, tapi saya selalu jatuh cinta dengan kehidupan laut di berbagai daerah di negeri ini. Saya selalu mencintai perairan Bali. Saya merindukan perairan Makassar. Saya ingin menikmati perairan Karimunjawa setengah mati. Dan saya penasaran dengan keindahan perairan Raja Ampat dan perairan menawan lainnya.

Saat semester dua, saya mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia. Saat itu kami sedang membahas tentang pidato. Seorang dari kami maju untuk menyampaikan pidatonya. Pidato itu tentang kekayaan maritim Indonesia. Sayang sekali saya tidak ingat nama mahasiswa itu, padahal isi pidatonya tidak bisa saya lupakan.
Dia bilang, dua per tiga wilayah Indonesia adalah perairan. Namun, Indonesia seakan melawan kodratnya sebagai negara perairan karena lebih menitikberatkan pembangunan di sektor pertanian dan industri. Saya terhenyak dan hanya menghela nafas.
Sebenarnya kemana kah arah pertumbuhan negara ini?

Bila bercermin dari film kungfu, memang tidak mudah untuk berjalan di atas permukaan air. Tapi saya pribadi berpikir lebih baik mengembangkan apa yang kita miliki daripada berjuang untuk membuat sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa kita kuasai. Entah apa yang negara ini pikirkan, sekedar mengikuti trend saja atau bagaimana.
Saya bukannya memandang sebelah mata pertanian dan industri, saya hanya mengasihani kekayaan kita yang selalu gagal untuk dimanfaatkan secara optimal. Keledai saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali, tapi mengapa hal sial itu selalu terjadi lagi dan lagi? Dari tambang minyak hingga tambang emas. Dari Habibie hingga Sri Mulyani.

Yah, tidak perlu jauh-jauh lah, saya punya 2 orang teman yang jenius tingkat tinggi. Saya mengenal mereka sejak SMP dan ke-brilian-an mereka tidak perlu diragukan, mulai dari kompetisi nasional hingga internasional, mereka sudah berpengalaman. Intinya, saya tidak heran jika suatu saat nanti mereka menjadi ilmuwan atau bahkan berhasil meraih Nobel. Yang satu sekarang di Singapur, lainnya di Jepang. Mirisnya, teman saya yang di Jepang ini gagal lolos PMDK di suatu universitas negeri. Entah medali nasional dan internasional miliknya dihargai apa oleh institusi tersebut. Memang saat mencoba lagi tes masuk universitas itu, ia diterima. Tapi siapa yang tidak tertarik dengan beasiswa dari pemerintah Jepang?
Teman saya yang di Singapur juga mendapat beasiswa. Kontra prestasinya adalah dia harus “melunasi” beasiswa yang telah dia terima dengan bekerja di instansi yang ditunjuk pemerintah Singapur setelah ia lulus.
Salah siapa? Teman-teman saya itu tidak nasionalis atau pemerintah lah yang gagal mengantisipasi “pencurian bakat” ini?

Bicara tentang bakat, entah kenapa orang-orang heboh untuk mencari bakat menyanyi, menari, dan bakat-bakat entertaining lainnya (seperti yang marak di televisi kita) daripada mencari bakat atlet, ilmuwan, sastrawan, negarawan dan sejenisnya. Jujur saja, menurut saya keduanya tidaklah sebanding.

Jadi Indonesia ku tercinta, kamu sudah tua, 65 tahun, jadilah dewasa! Jika waktu 65 tahun tidaklah cukup untuk belajar tentang yang baik dan buruk, jutaan rakyatmu ini harus menunggu berapa lama lagi?
Saya sadar masalah negeri ini terlalu kompleks, terlalu rumit, untuk diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Tapi kita bisa mulai dengan belajar dari pengalaman, kan? Sudah cukup kesalahan yang kita lakukan, jangan lakukan lagi.
Saya terdengar terlalu menuntut ya? Hmm sebaliknya, mungkin saya cenderung lelah berharap. Tapi sebenci-bencinya saya dengan segala kebusukan negeri ini, pada akhirnya saya akan kembali ke kodrat saya sebagai seorang Indonesia.

MERDEKA!!
Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country - John F. Kennedy
Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita  Soekarno
This country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but the property of all of us from Sabang to Merauke!  Soekarno
 PS. klik disini untuk tau berita baik dari Indonesia :)
Bali (source)
Makassar, photo by me
Karimunjawa (source)
Raja Ampat (source)
Love,


anz*

No comments:

Post a Comment